Tuesday, November 25, 2014

Maafkan aku, hujan

Siang ini hujan turun deras, aku tak tahu harus bersyukur atau malah mengeluh.
Setidaknya hari ini panas tidak lagi menganggu. Sesederhana itu aku melihat hujan.
Tidak, aku tidak sedang mengingkari apapun kok.
Tenang saja. Memang ini tak seperti biasa. Aku sedang tak berbicara kepada hujan. Menitip rindu? Rasanya aku saat ini bahkan tak tahu harus menitip rindu untuk apa dan siapa.
Ahhh.. Saat ini aku sedang menatap hujan.
Hujan yang turun dengan pelukan sang mentari yang sedang sendu.
Ngomong ngomong, apakah aku seperti mentari saat ini?
Apakah aku memang sesendu ini?
Tidakkah lesu dan diamku lebih baik?
Kurasa aku ingin diam.
Tidak aku tak ingin menangis seperti langit siang ini.
Untuk apa aku menangis?
Keputusasaan?
Kerinduan?
Kesepian?
Pengharapan?
Ataupun cinta?
Tidak... Aku takkan melakukan itu.
Sepertinya saat ini sedang takada yang diperjuangkan dan memperjuangkan.
Apakah itu berarti sebuah luka?
Atau malah yang sebaikknya terjadi?
Atau mungkin ini malah proses pendewasaan?
Proses kemandirian?

Mungkin aku seperti hujan yang dilepas tanpa tau bermuara dimana.
Bersama sama memang tapi bukankah tujuan tiap butir hujan berbeda?
Bermuara ditempat berbeda dan berubah menjadi wujud berbeda?
Bukankah hujan yang turun akan mengikuti media yang menampungnya?
Apakah itu muara sebuah hujan?
Ah....
Sekarang tentang aku.
Apabila aku menjadi hujan. Apakah media yang menjadi muaraku adalah kamu?
Apakah aku akan memiliki akhir selain kematian.
Kurasa aku terlalu larut dalam hujan.
Apa malah aku larut dalam sepi yang kian membunuh?
Kata mereka aku bahagia.
Nyatanya kalian takkan tau.
Mungkin hanya Tuhan, itupun kalau Tuhan memang ada.
Ah. Persetan. Aku terkadang memaknai hujan terlalu dalam. Beginilah akibatnya.
Larut. Terlarut dalam air yang melebur.
Seperti air dan gula.
Seperti air dan tanah.
Seperti aku dan (mungkin) kamu dalam cinta.

Hujan hari ini lebat sekali, semoga hujan yang berikutnya datang dapat aku ajak lagi bercakap.
Dalam merindu dan menitip pesan kepada seseorang.
Hujan, maafkan aku aku mendiamkanmu saat ini.
Entah sampai kapan aku seperti ini kepadamu.
Doakan saja.
Secepatnya aku bercakap padamu.
Saat ini menghirupmu memberiku tenang.
Mendengarmu membuatku memiliki teman.
Ah kau memang indah.
Namun sekali lagi maafkan aku, aku tak bisa berbicara denganmu.
Maafkan aku.

Sunday, November 23, 2014

Kau mendengarku?

Selamat siang, aku rasa aku menuliskan ini saat waktu beranjak siang.
Setidaknya otakku yang membisikkan bahwa ini sudah siang.

Aku ingin bercerita.
Aku bercerita seperti biasa, dengan sudut pandang orang pertama dan tokoh utama. Yaitu aku.

Kata teman ku. Mungkin bisa disebut teman yang lumayan dekat. Kurasa.
Dia khawatir dengan keadaanku katanya.
Aku bahkan tak mengerti
Apa yang dia khawatirkan berlebih.
Sepertinya aku baik baik saja.
Hanya sedikit pusing dan pucat.
Dia datang ke tempatku.
Kami berdua duduk diranjang yang sama.
Dia bilang apakah aku kesepian?
Kau pikir apa? Aku baik baik saja? Jika nyatanya ada yang mengira aku buruk toh itu sudut pandangmu ,bukan?
Saat itu mungkin aku sedikit lusuh.
Boro boro dengan make up. Bedak tipis pun malas aku poleskan.
Rambut tersisir rapi?
Rasanya aku kuncir ekor kuda dengan anggapan persetan apabila ada helai rambut yang terlepas.
Mungkin aku sedikit berantakan.
Bukankah aku tak dapat menilai diriku dengan sudut pandang aku?
Rasanya tak obyektif jika aku menilai sendiri.

Lagi lagi dia menanyakan.
Apa yang mengganggumu.
Apakah kau ingin kekasih?
Spontan saat itu aku tertawa. Mungkin kalau kau perhatian kau paham itu tertawa lirih.
Bukan, aku tak setragis itu kok. Aku hanya merasa. Ya perasaan yang mungkin membunuh.
Kau tau? Apa nyatanya aku setragis itu?
Toh aku tertawa,aku bermain. Seperti anak anak yang belum mengenal apapun. Masalah misalnya.
Tapi aku tetaplah seorang gadis yang menurut hukum sepertinya telah dapat dianggap dewasa. Terkadang memang kesepian itu.... ah lupakan saja.
Itu tak penting.

Ps:
Mendengar Dosen Mengajar dalam Sepi saat RAMAI

KEPUTUSASAAN

Selamat malam,
Aku menuliskan ini dalam kekalutan luar biasa.
Entah kenapa, entah. Aku tak mengerti, waktu memang tak pernah bergulir sempurna.
Kau yang membaca ini dalam diam.
Pernahkah kau merasa keputusaasaan?
Pernahkah merasa bahwa dunia tak lagi bersamamu lagi?
Pernahkah merasa bahwa penantianmu sia sia?
Aku rasa, aku pikir, aku berkata kita pasti semua pernah merasa.
Bagaimana rasanya?

Berulang lagi, berulang kembali, aku rasa kembali lagi dalam sebuah sepi dari puncak rindu yang tak berbekas.
Rindu selalu menyakitkan bukan?
Selalu selalu selalu
Menyakitkan mana kau rasa merindu atau malah sama sekali tidak merindu?
Dalam sepotong kertas putih yang tak ternoda kau tau?
Kau bisa menuliskan apa aja secara bebas. Secara leluasa.
Apakah sama apabila yang berwarna putih tersebut adalah kain?
Ataukah papan tulis kampus kita?
Beberapa media memang bisa dihapus begitu saja.
Tapi apa mungkin kita menyamakan itu semua?
Menyamakan atau disamakan memang kadang tidaklah penting.

Terkadang kita menemukan untuk  ditulis saat saat yang terkadang tidak tepat.
Mungkin saat ini memang bukan waktu yang tepat.
Semua pertemuan memang tak pernah ada yang kebetulan.
Setiap pertemuan takkan kita ketahui apa akhir dari itu.
Namun, entah mengapa aku telah berhenti.
Haruskah aku berhenti menerima?
Haruskah tidak ada lagi pertemuan?
Haruskah aku melupa apa yang pernah terjadi hingga taklagi ada luka?
Apakah sebaiknya aku memang tak pernah lagi ada?
Aku ada?

Harusnya aku berhenti
HARUSNYA
HARUSNYA
HARUSNYA

ps :
KU MENULIS (MUNGKIN) DALAM KEPUTUSASAAN

Wednesday, November 19, 2014

Cerita dalam Semoga

Detik berdetak dalam kesunyian, seperti sandi morse yang tergambar dalam isyarat.
Sandi yang harus dimengerti lewat untaian peristiwa tak terarah.
Peristiwa katamu?
Sebuah potongan kejadian, ungkapan, atau sekedar tulisan?
Aku kembali lagi disini.
Aku kembali seperti biasa untuk bercerita.
Untuk menulis tiap inchi emosi yang kurasa dalam diam.
Dalam perenungan yang kupikir matang - matang.
Dalam harap sebuah pengharapan.
Seperti cahaya dalam kegelapan.
Hidup terkadang metafora kawan.

Kau pernah meminum segelas coklat?
Kita tak pernah terbayang rasa yang akan kita kecap.
Entah manis, pahit ataupun hambar.
Kita tak pernah tau sebelumnya seberapa banyak gula yang akan kita tuang.
Bisa setetes bisa pula sesloki gula.
Kita tak pernh tahu bukan?
Seperti sebuah perkenalan yang tak kita tahu ujungnya bakal kemana.
Berakhir sampai disana, berlanjut berteman atau bahkan ada yang berpacaran.
Sebuah pertemuan selalu ada akhir.
Juga selalu ada awal yang baru.
Bicara apa aku kali ini?
Tentang hidup? Cinta? Pertemuan?

Sebuah dalam berbagai peristiwa.
Sebuah kataku.
Bukan dua ataupun tiga.
Apakah aku tempatmu berlabuh?
Apakah aku tempatmu untuk pulang?
Apa malah aku yang takbisa lepas darimu?
terdistraksi akan tiap langkah mu?
Atau...
Au tak tahu lagi.
Kamu semakin menjadi dalam afeksi yang tak lagi kutawar
Sebagai candu yang membunuh perahan. Tanpamu. Tanpa kita. Aku


PS: Aku menulis dalam hingar bingar dan carut marut tugas.
Seperti kamu mungkin, yang membaca ini saat jenuh dengan tugas yang berlebih.
Disini aku menulis dan disana kamu membaca. SEMOGA.

Sebuah Tanya

Bulan, bintang, segala hiasan lagit tak menghiasi malam
Sunyi senyap kurasa dalam ramai malam ini
Rasa sepi dalam mendung yang menyekat
Segala angan yang terkubur dalam

Malam yang setia mendengarku
Dalam diam untaian kata 
Semakin ku diam semakin ku bercerita
Menangisku dalam tawa

Memang katamu sederhana
Tapi selalu tak sesederhana itu
Luka, Cinta?
Bukankah Berhubungan?
Kita semua merasakan bukan?

Ps: Jangan bilang aku lagi galau
Menulis sembari tertawa