Sunday, July 27, 2014

Surat ((sang)) Masa Lalu

Selamat pagi, Malam
            Rasanya salamku kali ini seperti judul film ya mas? ahh benar mas memang seperti film,terkadang hidupku pula mas terlalu dramatis.  Mas, selamat pagi. Kucium keningmu dalam angan yang tak pernah dingin. Iya mas. Seperti matahari yang diam - diam mengintip rinduku yang selalu mengikutimu mas. Mas, rasanya aku memang bodoh. Ya mas. Aku megabaikn kebahagiaanku sendiri mas. Mas, aku rindu mas. Aku merinduanmu. Apadaya mas mencintaimu seperti memegang patung Roro Jonggrang di Candi Prambanan mas. Agak mustahil.
            Mas, inginku tak lagi banyak. Bercengkerama bersama sekali waktu takkan kusia siakan lagi mas. Persetan mas, dengan pacarmu itu. Terkadang rindu tak menggunakan logika  bukan mas? Mas, seharusnya aku ta menunggumu mas. Seharusnya aku mundur sebelum perasaan ini semakin larut mas. Tapi aku bisa apa mas? Aku mencintaimu bagai gula dan air mas. Bergabung dan tak terpisahkan lagi mas. Ah memikirkannya pun aku semakin rindu mas. Kasian ya mas. Tertawalah mas. mungin dengan mas tertawa beban hidup mas akan berkurang. Inget mas, kalo beban kita besar ada Tuhan yang lebih besar. Dia bisa buat kita menjadi besar dan mungkin memang itu mas satu satunya jalan yang harus kita lewati. 
            Mas, aku pernah dengar sebuah penantian itu takkan mustahil. Apa itu benar mas? Badebah mas. Terserah ku gak perdui mas. Penantian yang tanpa ujung ini mungkin akan memiliki akhir yang tak kusadari mas. Seperti lingkaran yang tak berujung. 
             Mas, pagi sepertinya belum mau datang. Dia masih belum mau kurayu. Sebentar mas, kurayu dulu sang mentari. Mungkin sedikit flirting dia akan berbaik hati. Jangan cemburu ya mas. Aku mencintaimu

Dari,
Seseorang (dari) Masa Lalu (mu)

Sunday, July 13, 2014

Surat untuk Pak Prabowo

Pak Prabowo Subianto,
Selamat pagi pak. Anggap saja kini sedang pagi saat bapak sedang membaca surat yang tak berharga ini. Pagi adalah waktu paling suci dan jernih bukan pak? 

Pak Prabowo yang tampan,
Ijinkan aku untuk mulai bercerita. Aku bukanlah seorang penulis profesional pak. Aku sama seperti anak kecil lainnya yang bercita - cita menjadi dokter. Bahkan beberapa saat lalu aku baru saja mendaftar kedokteran pak. Tapi, Tuhan memang sepertinya tidak berkenan untuk mengijinkan diriku duduk dan belajar di Fakultas Kedokteran. Awalnya, aku tidak bisa terima itu pak. Aku menangis seharian dan hampir berputus asa. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang aku lakukan baik menghujat, marah, emosi, semua tak ada gunanya. Tetap saja aku tak bisa memutar keadaan. Aku  seorang gadis yang ditolak Fakultas Kedokteran. 
Pak, memang aku belum pernah merasa bagaimana mendaftar sebagai seorang presiden. Mengikuti Debat yang diadakan KPU, berorasi di hadapan ribuan orang, didukung dan disemangati banyak rakyat Indonesia. Pak, menjadi sesuatu apalagi menjadi seorang presiden memang cita cita banyak orang apalagi yang terjun di dunia politik. Seperti halnya menjadi dokter pak. Aku tau bagaimana sekarang perasaan bapak ketika melihat hasil quick count yang ada. Aku rasa perasaan bapak sama seperti perasaanku waktu itu. Putus asa, lemah, seperti tak dihargai. Pak, aku dulu juga sempat pernah mengalami emosi yang tak menentu, wajah yang begitu murung, dan merasa tak dihargai. Percayalah pak, hampir semua orang pernah merasakan itu. Bukan hanya bapak sendiri saat ini. Pak tak ada maksud sedikitpun unuk menggurui namun aku melihat beberapa kali ketika bapak diwawancara. Ketampanan bapak yan aku percaya bukan hanya dilayar kaca hilang pupus entah kemana. Dan aku paham bagaimana rasanya ketika menunggu pengumuman dari KPU tanggal 22 Juli ini. Gundah gulana. Pak apapun yang terjadi bapak tak boleh berputus asa. Meskipun bapak bukanlah juaranya. Pak di setiap kompetisi tentu ada pemenang dan kekalahan bukan? Kita harus menerima, bukan malah menghujat. Percayalah pak, pendukung bapak di luar sana berharap kemenagan. Namun mereka juga tak ingin bapak menggunakan cara yang salah. Mengakui kekalahan belum tentu mnjadi lemah bukan pak?

Pak Prabowo yang tegas,
Hari demi hari aku mencoba mengenali dan mencintai bapak sama seperti pendukung bapak selama ini. Aku tak pernah menyalahkan ataupun menganggap bapak buruk. Aku tau pak. Bapak ingin membuat Indonesia lebih baik bukan? Pak, bukan berarti tidak menjadi presiden bapak tidak dapat membuat Indonesia menjadi lebih baik. Aku yakin bapak mengerti maksudku. Bapak  aku ingin bertanya. Arogansi dan ketegasan merupaka hal yang berbeda, bukan? Aku yakin bapak tegas dan benar mencintai kami rakyatmu yang memang seperti katamu (kami bodoh dan gampang dibodohi). Ah benar pak. Jika aku memang pintar mana mungkin aku tak diterima kedokteran. Tapi pak, aku menulis surat ini menggunakan nurani walau kemampuanku dalam merangkai kata kata begitu bodoh. Maaf pak jikalau aku memiliki kesalahan. Ini murni kata hatiku yang terpendam  untuk bapak. 

Pak Prabowo yang baik,
Kini aku mengerti mengapa para pendukungmu mencintaimu. Percayalah aku mencoba memiliki perasaan seperti itu. Mohon maaf pak sebelumnya, jika tahun ini aku tidak memberikan suaraku untukmu. Bukan karena kau tak baik. Tapi nyatanya saat ini, aku lebih mencintai sosok ayah yang lebih suka dipanggil kakak. Sosok ayah yang dengan bangga memamerkan sepatu seharga dua ratus ribu yang dibelikan istrinya, sosok ayah yang kata bapak pencitraan, sosok ayah yang mengatakan bahwa bapak negarawan. Sosok yang kini bapak anggap rival bapak. 

Pak Prabowo yang tulus,
Aku memohon kepada bapak dari dalam hati yang paling tulus. Jikalau bapak menang ataupun kalah bapak menerimanya dengan hati yang lapang dan legowo kan pak?  Jangan pernah menunjukan arogansi lagi ya pak. Kami rakyatmu selalu butuh pemimpin yang dapat mengerti kami dan memahai kami layaknya sebuah keluarga. Kami rakyatmu membutuhkan seperti kepala  keluarga yang bijak. Bukan kepala keluarga yang pemarah dan penyuruh. Sekian pak surat dari aku. Seseorang dari puluhan ribu rakyatmu yang tak sempurna dan bodoh.


Salam Sayang,

Dari Rakyat (Bodoh) mu 

Saturday, July 12, 2014

SEBUAH PENGHARAPAN. Diatas awan malam ini aku mengatakan aku mulai mencintaimu lalu mengecup keningmu yang telah membiru dan kaku

Surat untuk Masa Lalu

Teruntuk Negeri Cahaya,
Selamat pagi. Entah sekarang pukul berapa ketika kau membaca ini tetap kuucap selamat pagi. Pagi adalah sebuah bagian waktu yang tak pernah aku rasakan. Aku tak pernah mengenal apa itu matahari dan apapula matahari terbit. Doaku hanya matahari terbit dan menerangi walaupun diufuk barat. Tak perduli apa kata kalian dimasa yang tak pernah menghargai arti cahaya. Merasa pun aku tak pernah. Apalagi untuk membenci.
Seperti halnya malam. Aku tak tau ada bulan atau satelit yang mengorbit planet berpenghuni. Hanya bayangan, cerita mimpi di negeri harapan. Aku pernah membaca itu semua. Iri? Tentu pasti. Menginginkan apa yang pasti takkan kita miliki, adalah hal tersulit dalam hidup. Aku berdoa, menyembah, memohon apa daya semua berkata ini, "Ini kutukan Tuhan.'' Aku tau yang sebernarnya tapi sulit untuk yang mengatakan dan mengakui yang sebenarnya. Pernah dengar? Jujur terkadang melukai. Lalu untuk apa sebuah kejujuran? Jika ketika berinteraksi kejujuranlah yang kita tutup tutupi. Selalu kebohongan berakhir manis. Ya setidaknya aku muak dengan sermua itu. Ah kembali ku bercerita. Matahari, bulan, bintang lenyap tak lama sebelum aku lahir. Kata mereka, kita spesies pembawa dosa. Nyatanya kalianlah dalang dari semua kehancuran itu.. Kalian tak menjaganya, apalagi menghormati. Cinta di negeri kami hampir punah. Kejujuran tak lagi ada. Kebohongan terus bertumpuk. Kalian yang membaca ini pasti pernah merasakan dicium dengan mata terpejam dan penuh nafsu bukan? Disini. Pada zaman ini tak lagi ku rasakan. Ciuman alat kebohongan. Menunjukkan nafsu? Ah para gadis pasti membunuh kami. Di negeri kami jujur sudah termasuk alasan yang kuat untuk membunuh. Undang Undang yang kalian kenal berbeda dengan sekarang. Bahkan kebalikan. Melakukan hubungan seksual bukan karena nafsu melainkan formaslitas belaka. Tak ada on clinic, apalagi klinik tong fang. Semua kebohongan. Kebohongan yang utama.

Selamat pagi kamu yang membaca ini. Kalau kau membaca sebelum pagi kumohon kau baca tiap pagi. Bantu aku. Aku ingin merubah zaman ini. Zaman kalianlah yang membantu. Dimana kejujuran dihargai. Dimana hati nurani masih terdengar. Tolong, jangan nodai kesucian zaman kalian. Jangan pernah memutarbalikkan sesuatu. Masa depan selalu dapat berubah, masa lalu selalu jadi penyesalan. Tolong, jangan buat aku tak pernah merasa matahari terbit. Aku ingin melihatnya, katanya indah sekali ya ? Kirimi aku jika kamu dapat membaca surat ini.

Salam sayang,
Aku di (masa) depanmu

Sunday, July 6, 2014

Surat untuk Hati

 Untuk     : Hati
 Hal          : Catatan Kisah
 Nomor    : Tak Terhingga

     Dengan segenap cinta yang ada,

Dalam surat resmi yang pertama ini aku tuliskan berbagai keluhan atas kinerja hati yang belum juga membaik Aku belum mengerti setelah berulang kali aku perbaiki entah spare part yang kurang asli atau hati yang mulai aus. Belum juga kembali seperti baru. Seperti dulu sebelum mencinta dan bercinta.  Aku tak pernah mengerti mengapa ini terjadi. Rasanya aku tak pernah membuatmu bekerja terlalu keras. Sakit,perih, rindu rasanya kini. Aku tak pernah ingin sedikitpun merasa ini. Kamu baik baik aja? Sungguh? Aku begitu khawatir kini kesehatanmu tak lagi normal. Semua menjadi satu. Abnormal. Sakit. Perih kurasa sakit yang membelenggu jiwa yang semakin sepi tak mengira. Kamu tak boleh merasa sepi lagi kini. Walau luka yang otakku kirim belum sempurna kering. Otakku memang sering tak bersahabat kepadamu. Impuls dalam otak yang memang jahat, membuatkku tdk jg membaik dan beranjak pergi. Malam ini kuberi pengertian padamu, semoga ini bisa membuatmu lebih baik. Selamat malam, hati yang terluka.


Dari


Pemilikmu

Wednesday, July 2, 2014

Surat Terbuka Untuk (Calon) Pacarku

Selamat malam menuju pagi kekasihku (ter)sayang..
Ku dengar saat ini sedang banyak yang menulis surat terbuka. Kau ikut tidak? Atau bahkan kau tak mendengar. Ah kau selalu begitu sayang. Terlalu nyaman berdiam di benakku. Tanpa berkutik dan tanpa gerak sedikitpun. Kau membuat hariku menjadi lebih tenang.
Sayang, aku tau  dn aku begitu paham kondisi ketika aku sedang menulis surat ini dikamar yang lebih mirip kandang monyet. Aku menggunakan monyet karena aku menghargai teori Eyang Darwin. Kalau kita hasil evolusi dari spesies kera itu sendiri. Mari kita lanjut sayang sebelum aku melntur dan melalangbuana semakin mesra. Aku tahu sayang, saat aku menulis surat ini da kamu membacanya kamu pasti berpikir ini untuk siapa. Aku menulis ini untukmu sayang, namun kita belum berpacaran. Apa boleh buat aku tetap menulis ini. Ini surat saat aku tulis memang belum bertuan. Namun jika kamu ingin menjadikan surat ini untukmu kamu isa terus terang sama aku. Gak ada salahnya kan?
Hati ini tergerak sayang melihat surat ini ama terbengkalai. Ya sebenarnya begitu sepele. Bukannya sebuah surat harus ada tujuan? Lama aku memikirkan tujuan surat ini. Tetap sayang otaku terlalu lemah. Aku tetap belum menemukan surat ini untuk siapa. Ya sekali sekali aku melanggar UNDANG UNDANG SURAT dan aku membuat surat ini (belum) bertuan. Surat yang jujur ini tak mungkin aku biarkan di pojokan kamar bersama onggokan baju kita sayang. Terlalu tragis akhir surat ini. Namun aku akan mencari dan trus mencari yang dapat menghargai surat (tak) bertuan ini.
Sayang, ini sudah pagi bukan? Rasanya kamu harus tidur. Jika ketika kamu membaca ini tidak pagi, melainkan siang,sore ataupun malam anggap saja ini pagi. Dimana kamu membangunknku dengan ciuman mesra mu itu. Selamat Pagi Sayang. Semoga hadirnya suratku dapat membuatmu jadi bahagia.

(Dicintai terkadang lebih sulit daripada mencintai,karena terkadang kita sering tak sadar menyakitinya)


Dari,
(Calon) Pacarmu