Pak Prabowo Subianto,
Selamat pagi pak. Anggap saja kini sedang pagi saat bapak sedang membaca surat yang tak berharga ini. Pagi adalah waktu paling suci dan jernih bukan pak?
Pak Prabowo yang tampan,
Ijinkan aku untuk mulai bercerita. Aku bukanlah seorang penulis profesional pak. Aku sama seperti anak kecil lainnya yang bercita - cita menjadi dokter. Bahkan beberapa saat lalu aku baru saja mendaftar kedokteran pak. Tapi, Tuhan memang sepertinya tidak berkenan untuk mengijinkan diriku duduk dan belajar di Fakultas Kedokteran. Awalnya, aku tidak bisa terima itu pak. Aku menangis seharian dan hampir berputus asa. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang aku lakukan baik menghujat, marah, emosi, semua tak ada gunanya. Tetap saja aku tak bisa memutar keadaan. Aku seorang gadis yang ditolak Fakultas Kedokteran.
Pak, memang aku belum pernah merasa bagaimana mendaftar sebagai seorang presiden. Mengikuti Debat yang diadakan KPU, berorasi di hadapan ribuan orang, didukung dan disemangati banyak rakyat Indonesia. Pak, menjadi sesuatu apalagi menjadi seorang presiden memang cita cita banyak orang apalagi yang terjun di dunia politik. Seperti halnya menjadi dokter pak. Aku tau bagaimana sekarang perasaan bapak ketika melihat hasil quick count yang ada. Aku rasa perasaan bapak sama seperti perasaanku waktu itu. Putus asa, lemah, seperti tak dihargai. Pak, aku dulu juga sempat pernah mengalami emosi yang tak menentu, wajah yang begitu murung, dan merasa tak dihargai. Percayalah pak, hampir semua orang pernah merasakan itu. Bukan hanya bapak sendiri saat ini. Pak tak ada maksud sedikitpun unuk menggurui namun aku melihat beberapa kali ketika bapak diwawancara. Ketampanan bapak yan aku percaya bukan hanya dilayar kaca hilang pupus entah kemana. Dan aku paham bagaimana rasanya ketika menunggu pengumuman dari KPU tanggal 22 Juli ini. Gundah gulana. Pak apapun yang terjadi bapak tak boleh berputus asa. Meskipun bapak bukanlah juaranya. Pak di setiap kompetisi tentu ada pemenang dan kekalahan bukan? Kita harus menerima, bukan malah menghujat. Percayalah pak, pendukung bapak di luar sana berharap kemenagan. Namun mereka juga tak ingin bapak menggunakan cara yang salah. Mengakui kekalahan belum tentu mnjadi lemah bukan pak?
Pak Prabowo yang tegas,
Hari demi hari aku mencoba mengenali dan mencintai bapak sama seperti pendukung bapak selama ini. Aku tak pernah menyalahkan ataupun menganggap bapak buruk. Aku tau pak. Bapak ingin membuat Indonesia lebih baik bukan? Pak, bukan berarti tidak menjadi presiden bapak tidak dapat membuat Indonesia menjadi lebih baik. Aku yakin bapak mengerti maksudku. Bapak aku ingin bertanya. Arogansi dan ketegasan merupaka hal yang berbeda, bukan? Aku yakin bapak tegas dan benar mencintai kami rakyatmu yang memang seperti katamu (kami bodoh dan gampang dibodohi). Ah benar pak. Jika aku memang pintar mana mungkin aku tak diterima kedokteran. Tapi pak, aku menulis surat ini menggunakan nurani walau kemampuanku dalam merangkai kata kata begitu bodoh. Maaf pak jikalau aku memiliki kesalahan. Ini murni kata hatiku yang terpendam untuk bapak.
Pak Prabowo yang baik,
Kini aku mengerti mengapa para pendukungmu mencintaimu. Percayalah aku mencoba memiliki perasaan seperti itu. Mohon maaf pak sebelumnya, jika tahun ini aku tidak memberikan suaraku untukmu. Bukan karena kau tak baik. Tapi nyatanya saat ini, aku lebih mencintai sosok ayah yang lebih suka dipanggil kakak. Sosok ayah yang dengan bangga memamerkan sepatu seharga dua ratus ribu yang dibelikan istrinya, sosok ayah yang kata bapak pencitraan, sosok ayah yang mengatakan bahwa bapak negarawan. Sosok yang kini bapak anggap rival bapak.
Pak Prabowo yang tulus,
Aku memohon kepada bapak dari dalam hati yang paling tulus. Jikalau bapak menang ataupun kalah bapak menerimanya dengan hati yang lapang dan legowo kan pak? Jangan pernah menunjukan arogansi lagi ya pak. Kami rakyatmu selalu butuh pemimpin yang dapat mengerti kami dan memahai kami layaknya sebuah keluarga. Kami rakyatmu membutuhkan seperti kepala keluarga yang bijak. Bukan kepala keluarga yang pemarah dan penyuruh. Sekian pak surat dari aku. Seseorang dari puluhan ribu rakyatmu yang tak sempurna dan bodoh.
Salam Sayang,
Dari Rakyat (Bodoh) mu
No comments:
Post a Comment